Jumat, 22 April 2011

Problem Kenabian

PROBLEM KENABIAN: KEBERAKHIRAN DAN KEMAKSUMANNYA

A. PENDAHULUAN
Menyangkut masalah problem kenabian khususbya dalam hal keberakhiran dan kemaksumannya sebenarnya semua itu sedikit banyak sudah dijelaskan didalam al-Qur`an dan al-Hadist. Menyangkut keberakhiran kenabian, al-Qur`an menerangkan masalah tersebut dengan sangat jelas. Dan hal ini tidak diragukan lagi, jika seseorang memiliki pengetahuan bahasa arab meskipun sedikit saja dan merujuk pada ayat-ayat yang berkaitan dengan hal tersebut, ayat-ayat al-Qur`an akan menjelaskan bahwa Rasullah SAW adalah sebagai Nabi terakhir.
Sedangkan masalah kemaksumannya Allah SWT mengutus para Nabi setelah menjamin kemaksuman mereka dalam tiga tahap tersebut, yakni: dalam “menerima” pesan-pesan Tuhan dan “menyampaikan” nya kepada umat manusia, mereka terpelihara dari dosa, kesalahan dan kelalayan. Oleh sebab itu, dalam hal problem kenabian: keberakhiran dan kemaksumannya sebenarnya tanpa perlu penjelasan detail karena semuanya itu sudah ada di al-Qur`an dan al-Hadist.
Dengan demikian, dalam pembahasan kali ini kami mencoba menjabarkan problem kenabian itu sendiri baik dari sisi keberakhirannya maupun kemaksumannya. Oleh karena itu, marilah kita simak pembahasan di bawah ini dan semoga dengan semua ini kita bisa paham dan mengetahui permasalahan-permasalahan pokok ketauhidan dan ilmu kalam.

B. PEMBAHASAN
Allah SWT menciptakan manusia dalam sebaik-baik rupa dia mengaruniakan dan menanamkan kecenderungan kesempurnaan dan kemampuan bergerak manusia menuju kesempurnaan. Sama halnya seperti Allah memilih para Nabi untuk menyampaikan dengan sempurna hukum-hukum dan undang-undang agama kepada manusia untuk menjamin kehidupan, menunjukkan jalan lurus menuju kesempurnaan dan kedekatan manusia dengan Allah selain dari jalan itu tiada jalan lain mereka membantu manusia dalam menempuh jalan kebahagian dan kesempurnaan. Memikul kepemimpinan umat dan berusaha menerapkan undang-undang Tuhan dan pembinaan keutamaan-keutamaan insani.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, meskipun pesan-pesan yang mereka bawa itu mengandung perbedaan-perbedaan kecil, para Nabi adalah pembawa pesan yang satu dan sama, dan mereka memiliki satu aliran pemikiran yang sama. Aliran pemikiran ini disuguhkan secara gradual sesuai dengan kemampuan umat manusia, sampai mereka mencapai titik perkembangan dimana aliran pemikiran ini bisa disuguhkan dalam bentuknya yang lengkap dan sempurna. Ketika itulah terjadi problem kenabian khususnya keberakhiran dan kemaksumannya.
a. Masalah Keberakhirannya Kenabian
Menyangkut masalah kenabian khususnya problem keberakhirannya jika kita lihat dari pandangan al-Qur`an, maka semua sudah cukup jelas dan hal ini tidak diragukan lagi dan di dalam al-Qur`an ayat-ayat yang berkenaan dengan kenabian terakhir adalah:
Surat al-Ahzab ayat 40 yang artinya “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Penjelasan:
Di antara budaya jahiliyah yang salah adalah meyakini bahwa anak angkat sebagai anak kandung sendiri. Mereka berbuat pada anak angkat sebagaimana terhadap anak kandung mereka. Sebagai contoh, jika anak angkat mereka menikah dengan seorang wanita kemudian menceraikannya, maka ayah angkat tidak boleh menikahi wanita tersebut. Untuk menghilangkan budaya yang salah seperti ini, Islam memerintahkan Rasulullah menikahi Zainab, istri anak angkat beliau yaitu Zaid yang telah diceraikan.
Nabi Muhammad menikah dengan Zainab pernikahan ini menimbulkan keributan bagi sebagian umat yang tidak benar-benar beriman pada Allah dan Nabi serta masih terikat kuat dengan budaya jahiliyah. Semua orang mempertanyakan mengapa Rasulullah menikahi mantan istri anak angkatnya sendiri yaitu Zaid.
Untuk menghilangkan pemikiran tersebut, Allah Swt berfirman sebagaimana ayat tersebut di atas.
Di dalam al-Qur`an kata khatam digunakan dalam beberapa ayat berikut:
1. dalam surat al-Muthaffifin ayat 25 yang artinya mereka di beri minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya) (tertutup).
2. dalam surat al-Muthaffifin ayat 26 yang artinya (Lak (penutup) nya dari kasturi).
3. dalam surat Yasin ayat 65 yang artinya pada hari ini, Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada kami tangan mereka......
4. dalam surat al-Jatsiyah ayat 23 yang berbunyi:
5. dalam surat al-Baqarah ayat 7 yang artinya “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka di tutup.
Seperti yang telah dipaparkan di atas maka kata-kata khatam dalam ayat-ayat tersebut adalah kiasan dari berakhirnya sebuah perbuatan kekafiran dan penentangan serta gelapnya ruh mereka telah mencapai tingkatan yang tidak mungkin lagi diharapkan berpengaruhnya cahaya kebenaran dan ucapan-ucapan Tuhan.
Oleh karena itu, makna dari kata khatamun nubuwwah adalah kenabian telah mencapai puncaknya dan dengan perantara Nabi Muhammad, pintu kenabian tersebut telah tertutup dan tidak pernah terbuka kembali bagi siapapun sampai hari kiamat.
Di samping itu, ada beberapa pendapat dari para ahli tentang makna khatam yaitu:
1. menurut Abu Muhammad Damiri dalam Nadzam berkata, “ Khatim dengan huruf “ ta`” yang berharakat kasrah bermakna “penutup” dan dengan berharakat fathah bermakna “Stempel yang dengannya surat atau sesuatu yang lain di cap””.
2. Ibnu Manzhur dalam kamus besarnya menuliskan bahwa khitamul qaum yaitu orang terakhir pada suatu kaum dan kata khatim merupakan salah satu julukan dari Rasulullah sementara kata “khatamu nabiyyin” itu bermakna “Nabi terakhir” dan salah satu dari julukan Rasulullah adalah “`aqib” yang juga bermakna “Nabi terakhir”
3. sebagai seorang filosof dan ahli sejarah Ibnu Khaldun dalam kitabnya “muqaddimah” menjelaskan bahwa mengecap surat atau surat-surat penting lain sangat membudaya dan terkenal dikalangan pembesar sebelum Islam dan sesudah Islam.
Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih meriwayatkan ketika Rasulullah ingin menulis sepucuk surat untuk penguasa Romawi, para sahabat mengingatkan beliau dan berkata: “Penguasa Romawi tidak akan menerima surat yang tidak di cap.’ Rasul memerintahkan untuk membuat cincin dari perak yang diatasnya bertuliskan Muhammad Rasulullah. Sejak saat itu, surat-surat beliau di cap dengan cincin tersebut.
Kemudian Ibnu Khaldun melanjutkan dalam bahasa Arab saat menyatakan khatamul amra artinya: “aku mengakhirinya” begitu pula juga dikatakan khatamul al-Qur’an maka berarti aku membaca al-Qur’an hingga akhir “khatamun nabiyyin bermakna” “Nabi terakhir”.
Beliau juga menambahkan, mengecap surat dengan stempel atau cincin menandakan bahwa surat telah selesai dan maksud penulis telah berakhir serta menandakan kebenaran isi surat tersebut. Jika surat atau dokumen tidak memiliki stempel maka berarti belum selesai dan tidak berarti.
Dengan demikian, pada dasarnya permasalahan tentang keberakhirannya kenabian itu sangatlah panjang dan butuh pengulasan sangat detail dan rinci, karena untuk saat ini kitab-kitab yang menunjukkan semua itu sangatlah banyak dari berbagai versi.

b. Masalah Kemaksumannya Kenabian
Dalam masalah ini, para Nabi itu maksum dalam tiga tahap yaitu: dalam “menerima” pesan-pesan Tuhan dan “menyampaikan” nya kepada umat manusia, mereka terpelihara dari dosa, kesalahan dan kelalaian. Sehingga seandainya mereka tidak maksum, bagaimana mungkin mereka menyampaikan program-program agama yang menghidupkan kepada umat manusia tanpa penyimpangan tanpa kurang dan lebih? Dan masih banyak lagi hal-hal masalah kemaksumannya yang lain. Oleh karena itu, para utusan Tuhan harus maksum dari kesalahan dan kelalaian. Agar mereka dapat menyampaikan syariat agama tanpa pengurangan dan penambahan kepada umat mereka dan memenuhi kehendak Allah SWT.
Para Nabi harus maksum pada tahap pengalaman hukum-hukum agama yang terbukti dalam melaksanakan semua tugas dan kewajiban serta meninggalkan semua yang haram, dosa dan perbuatan yang buruk. Sebab mereka adalah figur yang sempurna dalam agama. Dengan pengalaman itu mereka bisa mengajak umat kepada perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Seandainya para Nabi itu tidak maksum bagaimana mungkin mereka dapat memikul kepemimpinan umat dan mengajak kepada kebajikan?
Umat tidak akan percaya pada orang-orang yang melangkah tanpa visi dan ucapannya tidak konsisten dengan perbuatannya. Dalam hal ini mereka lebih menilai dan mengikuti amal dan perbuatannya meskipun tidak konsisten dengan risalahnya, bukan ucapannya. Oleh karena itu, Allah tidak mengutus orang demikian sebagai seorang Nabi.
Oleh sebab itu, akal manusia menetapkan keniscayaan kemaksuman bagi para nabi, tanpa perlu penjelasan detail baik itu dari ayat-ayat al-Qur`an dan al-Hadist.

 Hikmah Kemaksuman
Dari penjabaran masalah kemaksuman, menurut kami kemaksuman merupakan sifat malakah bathiniah yang kukuh, yang menjaga si maksum dari berbuat dosa, khilaf, kesalahan dan sebagainya. Faktor dan sebab adanya sifat tersebut adalah iman yang sempurna yang mengatasi level pemahaman dan modus intelektual yang lahir dalam bentuk yakin dan penyaksian tak berperantara. Pribadi yang mengenal Tuhan dan meyakini hari kebangkitan pada tingkat tertinggi. Dengan mata batin, ia menyaksikan keagungan Tuhan semesta alam.
Menimbang masalah pentingnya keberadaan insan paripurna (insan kamil) dan maksum untuk jabatan kenabian ini, maka sistem alam penciptaan telah Allah susun dengan sedemikian rapi sehingga dalam kondisi-kondisi niscaya pastilah lahir pribadi demikian itu.
Penting di catat juga walaupun nabi itu maksum dan tidak akan pernah berbuat dosa namun tidak bertentangan dengan ikhtiar dan kemampuan mandiri dirinya untuk bermaksiat. Nabi itu juga seperti manusia biasa. Terkait perbuatan dosa, ia punya ikhtiar juga kemampuan. Namun disebabkan iman yang kukuh dan kebijaksanaan yang sempurna disertai karunia Tuhan dalam eksistensinya, ia tinggalkan semua perbuatan buruk dengan ikhtiar dan kehendak mandirinya.
Di dalam kitab aqidah al-awwam juga dijelaskan bahwasanya Nabi itu juga melakukan makan, minum, tidur dan hal-hal seperti yang dilakukan manusia. Akan tetapi, tidak mengurangi derajatnya sebagai nabi.
Dan di beberapa dalil naqli juga dijelaskan keniscayaan kemaksuman para Nabi: dalam al-Qur`an Allah berfirman dalam surat al-Jin ayat 26-27 yang artinya “ (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihakan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan dibelakangnya. Sesungguhnya Dia mengetahuinya, bahwa sesungguhnya Rasul-Rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.
Di sisi lain juga dijelaskan masalah kemaksuman para Nabi. Mereka itu semua telah memperoleh petunjuk dan Allah berfirman dalam surat az-Zumar ayat 23 dan 37 yang artinya “ dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun yang bisa memberi petunjuk (23). Dan barang siapa yang di beri petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya (37)” .
Jadi, Allah menjaga hamba-hamba yang Dia beri hidayah dari segala kesesatan dan segala bentuk kesesatan yang hendak mempengaruhi mereka. Artinya, mereka aman dari segala bentuk kemaksiatan. Karena maksiat adalah bentuk kesesatan.

C. KESIMPULAN/PENUTUP
Dari pembahasan di atas kita ambil kesimpulan bahwa problem kenabian, khususnya masalah keberakhiran dan kemaksumannya itu sangatlah panjang sekali dan bahkan mungkin pada sisi keberakhirannya itu tidak akan mungkin bisa diakhiri. Karena, banyak sekali pendapat dan perbedaan yang sangat mendasar sekali khusunya pada kata-kata khatam itu sendiri, misalnya saja: menurut seorang filosof dan ahli sejarah yaitu Ibnu Khaldun dalam kitabnya “muqaddimah” menjelaskan bahwa mengecap surat atau surat-surat penting lain sangat membudaya dan terkenal dikalangan pembesar sebelum Islam dan sesudah Islam.
Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih meriwayatkan ketika Rasulullah ingin menulis sepucuk surat untuk penguasa Romawi, para sahabat mengingatkan beliau dan berkata: “Penguasa Romawi tidak akan menerima surat yang tidak di cap.” Rasul memerintahkan untuk membuat cincin dari perak yang diatasnya bertuliskan Muhammad Rasulullah. Sejak saat itu, surat-surat beliau di cap dengan cincin tersebut.
Kemudian Ibnu Khaldun melanjutkan dalam bahasa Arab saat menyatakan khatamul amra artinya: “aku mengakhirinya” begitu pula juga dikatakan khatamul al-Qur’an maka berarti aku membaca al-Qur’an hingga akhir “khatamun nabiyyin bermakna” “Nabi terakhir”.
Beliau juga menambahkan, mengecap surat dengan stempel atau cincin menandakan bahwa surat telah selesai dan maksud penulis telah berakhir serta menandakan kebenaran isi surat tersebut. Jika surat atau dokumen tidak memiliki stempel maka berarti belum selesai dan tidak berarti.
Sedangkan dalam hal kemaksumannya, kita dapat pahami bahwa seharusnya dan itu pasti ada pada para Nabi dalam hal kemaksumannya itu ada tiga tahap yaitu: dalam “menerima” pesan-pesan Tuhan dan “menyampaikan” nya kepada umat manusia, mereka terpelihara dari dosa, kesalahan dan kelalaian.
kemaksuman merupakan sifat malakah bathiniah yang kukuh, yang menjaga si maksum dari berbuat dosa, khilaf, kesalahan dan sebagainya. Faktor dan sebab adanya sifat tersebut adalah iman yang sempurna yang mengatasi level pemahaman dan modus intelektual yang lahir dalam bentuk yakin dan penyaksian tak berperantara. Pribadi yang mengenal Tuhan dan meyakini hari kebangkitan pada tingkat tertinggi. Dengan mata batin, ia menyaksikan keagungan Tuhan semesta alam.
Di beberapa dalil naqli juga dijelaskan keniscayaan kemaksuman para Nabi: dalam al-Qur`an Allah berfirman dalam surat al-jin ayat 26-27 yang artinya “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihakan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan dibelakangnya. Sesungguhnya ida mengetahuinya, bahwa sesungguhnya Rasul-Rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.
Di sisi lain juga dijelaskan masalah kemaksuman para Nabi. Mereka itu semua telah memperoleh petunjuk dan Allah berfirman dalam surat az-Zumar ayat 23 dan 37 yang artinya “ dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun yang dapat memberi petunjuk (23). Dan barang siapa yang di beri petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya (37)” .

DAFTAR PUSTAKA

 Ibrahim Amini, Mengapa Nabi Diutus?, (Jakarta, Al-Huda, 2006)
 Murtadha Muthahari, Falsafah Kenabian, (Jakarta, Pustaka Hidayah, 1991)
 Ja’far Subhani, Siapa Nabi Terakhir?, (Jakarta, Al-Huda, 2006)
 Lisanul ‘Arab, Jilid. 5
 Ibnu Khaldun, Muqaddimah
 Al-Bidayah Wa an-Nihayah, Juz. 6
 Mulla Muhsin Faidh Kasyani, Mahajjatu al- Baydha fi Tahzib al-Ihya’, juz. 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar