Jumat, 22 April 2011

Problem Kenabian

PROBLEM KENABIAN: KEBERAKHIRAN DAN KEMAKSUMANNYA

A. PENDAHULUAN
Menyangkut masalah problem kenabian khususbya dalam hal keberakhiran dan kemaksumannya sebenarnya semua itu sedikit banyak sudah dijelaskan didalam al-Qur`an dan al-Hadist. Menyangkut keberakhiran kenabian, al-Qur`an menerangkan masalah tersebut dengan sangat jelas. Dan hal ini tidak diragukan lagi, jika seseorang memiliki pengetahuan bahasa arab meskipun sedikit saja dan merujuk pada ayat-ayat yang berkaitan dengan hal tersebut, ayat-ayat al-Qur`an akan menjelaskan bahwa Rasullah SAW adalah sebagai Nabi terakhir.
Sedangkan masalah kemaksumannya Allah SWT mengutus para Nabi setelah menjamin kemaksuman mereka dalam tiga tahap tersebut, yakni: dalam “menerima” pesan-pesan Tuhan dan “menyampaikan” nya kepada umat manusia, mereka terpelihara dari dosa, kesalahan dan kelalayan. Oleh sebab itu, dalam hal problem kenabian: keberakhiran dan kemaksumannya sebenarnya tanpa perlu penjelasan detail karena semuanya itu sudah ada di al-Qur`an dan al-Hadist.
Dengan demikian, dalam pembahasan kali ini kami mencoba menjabarkan problem kenabian itu sendiri baik dari sisi keberakhirannya maupun kemaksumannya. Oleh karena itu, marilah kita simak pembahasan di bawah ini dan semoga dengan semua ini kita bisa paham dan mengetahui permasalahan-permasalahan pokok ketauhidan dan ilmu kalam.

B. PEMBAHASAN
Allah SWT menciptakan manusia dalam sebaik-baik rupa dia mengaruniakan dan menanamkan kecenderungan kesempurnaan dan kemampuan bergerak manusia menuju kesempurnaan. Sama halnya seperti Allah memilih para Nabi untuk menyampaikan dengan sempurna hukum-hukum dan undang-undang agama kepada manusia untuk menjamin kehidupan, menunjukkan jalan lurus menuju kesempurnaan dan kedekatan manusia dengan Allah selain dari jalan itu tiada jalan lain mereka membantu manusia dalam menempuh jalan kebahagian dan kesempurnaan. Memikul kepemimpinan umat dan berusaha menerapkan undang-undang Tuhan dan pembinaan keutamaan-keutamaan insani.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, meskipun pesan-pesan yang mereka bawa itu mengandung perbedaan-perbedaan kecil, para Nabi adalah pembawa pesan yang satu dan sama, dan mereka memiliki satu aliran pemikiran yang sama. Aliran pemikiran ini disuguhkan secara gradual sesuai dengan kemampuan umat manusia, sampai mereka mencapai titik perkembangan dimana aliran pemikiran ini bisa disuguhkan dalam bentuknya yang lengkap dan sempurna. Ketika itulah terjadi problem kenabian khususnya keberakhiran dan kemaksumannya.
a. Masalah Keberakhirannya Kenabian
Menyangkut masalah kenabian khususnya problem keberakhirannya jika kita lihat dari pandangan al-Qur`an, maka semua sudah cukup jelas dan hal ini tidak diragukan lagi dan di dalam al-Qur`an ayat-ayat yang berkenaan dengan kenabian terakhir adalah:
Surat al-Ahzab ayat 40 yang artinya “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Penjelasan:
Di antara budaya jahiliyah yang salah adalah meyakini bahwa anak angkat sebagai anak kandung sendiri. Mereka berbuat pada anak angkat sebagaimana terhadap anak kandung mereka. Sebagai contoh, jika anak angkat mereka menikah dengan seorang wanita kemudian menceraikannya, maka ayah angkat tidak boleh menikahi wanita tersebut. Untuk menghilangkan budaya yang salah seperti ini, Islam memerintahkan Rasulullah menikahi Zainab, istri anak angkat beliau yaitu Zaid yang telah diceraikan.
Nabi Muhammad menikah dengan Zainab pernikahan ini menimbulkan keributan bagi sebagian umat yang tidak benar-benar beriman pada Allah dan Nabi serta masih terikat kuat dengan budaya jahiliyah. Semua orang mempertanyakan mengapa Rasulullah menikahi mantan istri anak angkatnya sendiri yaitu Zaid.
Untuk menghilangkan pemikiran tersebut, Allah Swt berfirman sebagaimana ayat tersebut di atas.
Di dalam al-Qur`an kata khatam digunakan dalam beberapa ayat berikut:
1. dalam surat al-Muthaffifin ayat 25 yang artinya mereka di beri minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya) (tertutup).
2. dalam surat al-Muthaffifin ayat 26 yang artinya (Lak (penutup) nya dari kasturi).
3. dalam surat Yasin ayat 65 yang artinya pada hari ini, Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada kami tangan mereka......
4. dalam surat al-Jatsiyah ayat 23 yang berbunyi:
5. dalam surat al-Baqarah ayat 7 yang artinya “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka di tutup.
Seperti yang telah dipaparkan di atas maka kata-kata khatam dalam ayat-ayat tersebut adalah kiasan dari berakhirnya sebuah perbuatan kekafiran dan penentangan serta gelapnya ruh mereka telah mencapai tingkatan yang tidak mungkin lagi diharapkan berpengaruhnya cahaya kebenaran dan ucapan-ucapan Tuhan.
Oleh karena itu, makna dari kata khatamun nubuwwah adalah kenabian telah mencapai puncaknya dan dengan perantara Nabi Muhammad, pintu kenabian tersebut telah tertutup dan tidak pernah terbuka kembali bagi siapapun sampai hari kiamat.
Di samping itu, ada beberapa pendapat dari para ahli tentang makna khatam yaitu:
1. menurut Abu Muhammad Damiri dalam Nadzam berkata, “ Khatim dengan huruf “ ta`” yang berharakat kasrah bermakna “penutup” dan dengan berharakat fathah bermakna “Stempel yang dengannya surat atau sesuatu yang lain di cap””.
2. Ibnu Manzhur dalam kamus besarnya menuliskan bahwa khitamul qaum yaitu orang terakhir pada suatu kaum dan kata khatim merupakan salah satu julukan dari Rasulullah sementara kata “khatamu nabiyyin” itu bermakna “Nabi terakhir” dan salah satu dari julukan Rasulullah adalah “`aqib” yang juga bermakna “Nabi terakhir”
3. sebagai seorang filosof dan ahli sejarah Ibnu Khaldun dalam kitabnya “muqaddimah” menjelaskan bahwa mengecap surat atau surat-surat penting lain sangat membudaya dan terkenal dikalangan pembesar sebelum Islam dan sesudah Islam.
Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih meriwayatkan ketika Rasulullah ingin menulis sepucuk surat untuk penguasa Romawi, para sahabat mengingatkan beliau dan berkata: “Penguasa Romawi tidak akan menerima surat yang tidak di cap.’ Rasul memerintahkan untuk membuat cincin dari perak yang diatasnya bertuliskan Muhammad Rasulullah. Sejak saat itu, surat-surat beliau di cap dengan cincin tersebut.
Kemudian Ibnu Khaldun melanjutkan dalam bahasa Arab saat menyatakan khatamul amra artinya: “aku mengakhirinya” begitu pula juga dikatakan khatamul al-Qur’an maka berarti aku membaca al-Qur’an hingga akhir “khatamun nabiyyin bermakna” “Nabi terakhir”.
Beliau juga menambahkan, mengecap surat dengan stempel atau cincin menandakan bahwa surat telah selesai dan maksud penulis telah berakhir serta menandakan kebenaran isi surat tersebut. Jika surat atau dokumen tidak memiliki stempel maka berarti belum selesai dan tidak berarti.
Dengan demikian, pada dasarnya permasalahan tentang keberakhirannya kenabian itu sangatlah panjang dan butuh pengulasan sangat detail dan rinci, karena untuk saat ini kitab-kitab yang menunjukkan semua itu sangatlah banyak dari berbagai versi.

b. Masalah Kemaksumannya Kenabian
Dalam masalah ini, para Nabi itu maksum dalam tiga tahap yaitu: dalam “menerima” pesan-pesan Tuhan dan “menyampaikan” nya kepada umat manusia, mereka terpelihara dari dosa, kesalahan dan kelalaian. Sehingga seandainya mereka tidak maksum, bagaimana mungkin mereka menyampaikan program-program agama yang menghidupkan kepada umat manusia tanpa penyimpangan tanpa kurang dan lebih? Dan masih banyak lagi hal-hal masalah kemaksumannya yang lain. Oleh karena itu, para utusan Tuhan harus maksum dari kesalahan dan kelalaian. Agar mereka dapat menyampaikan syariat agama tanpa pengurangan dan penambahan kepada umat mereka dan memenuhi kehendak Allah SWT.
Para Nabi harus maksum pada tahap pengalaman hukum-hukum agama yang terbukti dalam melaksanakan semua tugas dan kewajiban serta meninggalkan semua yang haram, dosa dan perbuatan yang buruk. Sebab mereka adalah figur yang sempurna dalam agama. Dengan pengalaman itu mereka bisa mengajak umat kepada perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Seandainya para Nabi itu tidak maksum bagaimana mungkin mereka dapat memikul kepemimpinan umat dan mengajak kepada kebajikan?
Umat tidak akan percaya pada orang-orang yang melangkah tanpa visi dan ucapannya tidak konsisten dengan perbuatannya. Dalam hal ini mereka lebih menilai dan mengikuti amal dan perbuatannya meskipun tidak konsisten dengan risalahnya, bukan ucapannya. Oleh karena itu, Allah tidak mengutus orang demikian sebagai seorang Nabi.
Oleh sebab itu, akal manusia menetapkan keniscayaan kemaksuman bagi para nabi, tanpa perlu penjelasan detail baik itu dari ayat-ayat al-Qur`an dan al-Hadist.

 Hikmah Kemaksuman
Dari penjabaran masalah kemaksuman, menurut kami kemaksuman merupakan sifat malakah bathiniah yang kukuh, yang menjaga si maksum dari berbuat dosa, khilaf, kesalahan dan sebagainya. Faktor dan sebab adanya sifat tersebut adalah iman yang sempurna yang mengatasi level pemahaman dan modus intelektual yang lahir dalam bentuk yakin dan penyaksian tak berperantara. Pribadi yang mengenal Tuhan dan meyakini hari kebangkitan pada tingkat tertinggi. Dengan mata batin, ia menyaksikan keagungan Tuhan semesta alam.
Menimbang masalah pentingnya keberadaan insan paripurna (insan kamil) dan maksum untuk jabatan kenabian ini, maka sistem alam penciptaan telah Allah susun dengan sedemikian rapi sehingga dalam kondisi-kondisi niscaya pastilah lahir pribadi demikian itu.
Penting di catat juga walaupun nabi itu maksum dan tidak akan pernah berbuat dosa namun tidak bertentangan dengan ikhtiar dan kemampuan mandiri dirinya untuk bermaksiat. Nabi itu juga seperti manusia biasa. Terkait perbuatan dosa, ia punya ikhtiar juga kemampuan. Namun disebabkan iman yang kukuh dan kebijaksanaan yang sempurna disertai karunia Tuhan dalam eksistensinya, ia tinggalkan semua perbuatan buruk dengan ikhtiar dan kehendak mandirinya.
Di dalam kitab aqidah al-awwam juga dijelaskan bahwasanya Nabi itu juga melakukan makan, minum, tidur dan hal-hal seperti yang dilakukan manusia. Akan tetapi, tidak mengurangi derajatnya sebagai nabi.
Dan di beberapa dalil naqli juga dijelaskan keniscayaan kemaksuman para Nabi: dalam al-Qur`an Allah berfirman dalam surat al-Jin ayat 26-27 yang artinya “ (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihakan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan dibelakangnya. Sesungguhnya Dia mengetahuinya, bahwa sesungguhnya Rasul-Rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.
Di sisi lain juga dijelaskan masalah kemaksuman para Nabi. Mereka itu semua telah memperoleh petunjuk dan Allah berfirman dalam surat az-Zumar ayat 23 dan 37 yang artinya “ dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun yang bisa memberi petunjuk (23). Dan barang siapa yang di beri petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya (37)” .
Jadi, Allah menjaga hamba-hamba yang Dia beri hidayah dari segala kesesatan dan segala bentuk kesesatan yang hendak mempengaruhi mereka. Artinya, mereka aman dari segala bentuk kemaksiatan. Karena maksiat adalah bentuk kesesatan.

C. KESIMPULAN/PENUTUP
Dari pembahasan di atas kita ambil kesimpulan bahwa problem kenabian, khususnya masalah keberakhiran dan kemaksumannya itu sangatlah panjang sekali dan bahkan mungkin pada sisi keberakhirannya itu tidak akan mungkin bisa diakhiri. Karena, banyak sekali pendapat dan perbedaan yang sangat mendasar sekali khusunya pada kata-kata khatam itu sendiri, misalnya saja: menurut seorang filosof dan ahli sejarah yaitu Ibnu Khaldun dalam kitabnya “muqaddimah” menjelaskan bahwa mengecap surat atau surat-surat penting lain sangat membudaya dan terkenal dikalangan pembesar sebelum Islam dan sesudah Islam.
Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih meriwayatkan ketika Rasulullah ingin menulis sepucuk surat untuk penguasa Romawi, para sahabat mengingatkan beliau dan berkata: “Penguasa Romawi tidak akan menerima surat yang tidak di cap.” Rasul memerintahkan untuk membuat cincin dari perak yang diatasnya bertuliskan Muhammad Rasulullah. Sejak saat itu, surat-surat beliau di cap dengan cincin tersebut.
Kemudian Ibnu Khaldun melanjutkan dalam bahasa Arab saat menyatakan khatamul amra artinya: “aku mengakhirinya” begitu pula juga dikatakan khatamul al-Qur’an maka berarti aku membaca al-Qur’an hingga akhir “khatamun nabiyyin bermakna” “Nabi terakhir”.
Beliau juga menambahkan, mengecap surat dengan stempel atau cincin menandakan bahwa surat telah selesai dan maksud penulis telah berakhir serta menandakan kebenaran isi surat tersebut. Jika surat atau dokumen tidak memiliki stempel maka berarti belum selesai dan tidak berarti.
Sedangkan dalam hal kemaksumannya, kita dapat pahami bahwa seharusnya dan itu pasti ada pada para Nabi dalam hal kemaksumannya itu ada tiga tahap yaitu: dalam “menerima” pesan-pesan Tuhan dan “menyampaikan” nya kepada umat manusia, mereka terpelihara dari dosa, kesalahan dan kelalaian.
kemaksuman merupakan sifat malakah bathiniah yang kukuh, yang menjaga si maksum dari berbuat dosa, khilaf, kesalahan dan sebagainya. Faktor dan sebab adanya sifat tersebut adalah iman yang sempurna yang mengatasi level pemahaman dan modus intelektual yang lahir dalam bentuk yakin dan penyaksian tak berperantara. Pribadi yang mengenal Tuhan dan meyakini hari kebangkitan pada tingkat tertinggi. Dengan mata batin, ia menyaksikan keagungan Tuhan semesta alam.
Di beberapa dalil naqli juga dijelaskan keniscayaan kemaksuman para Nabi: dalam al-Qur`an Allah berfirman dalam surat al-jin ayat 26-27 yang artinya “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihakan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan dibelakangnya. Sesungguhnya ida mengetahuinya, bahwa sesungguhnya Rasul-Rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.
Di sisi lain juga dijelaskan masalah kemaksuman para Nabi. Mereka itu semua telah memperoleh petunjuk dan Allah berfirman dalam surat az-Zumar ayat 23 dan 37 yang artinya “ dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun yang dapat memberi petunjuk (23). Dan barang siapa yang di beri petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya (37)” .

DAFTAR PUSTAKA

 Ibrahim Amini, Mengapa Nabi Diutus?, (Jakarta, Al-Huda, 2006)
 Murtadha Muthahari, Falsafah Kenabian, (Jakarta, Pustaka Hidayah, 1991)
 Ja’far Subhani, Siapa Nabi Terakhir?, (Jakarta, Al-Huda, 2006)
 Lisanul ‘Arab, Jilid. 5
 Ibnu Khaldun, Muqaddimah
 Al-Bidayah Wa an-Nihayah, Juz. 6
 Mulla Muhsin Faidh Kasyani, Mahajjatu al- Baydha fi Tahzib al-Ihya’, juz. 4

Minggu, 17 April 2011

Theologia

Pendahuluan
Dalam sejarah perkembangan umat Islam, kematian khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan secara tragis melalui tangan para perusuh tahun 35 H, telah menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam. Salah satu di antaranya adalah perang Shiffien, dua tahun setelah ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at jadi khalifah menggantikan ‘Utsman.
Perang besar antara kubu ‘Ali dengan kubu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran pemikiran yang secara ekstrem selalu bertentangan yaitu Al-Khawarij dan Syi’ah. Misalnya Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah ‘Ali setelah peristiwa tahkim atau arbritase, sementara Syi’ah belakangan mengkultuskan ‘Ali demikian rupa sehingga seolah-olah ‘Ali adalah manusia tanpa cacat. Sekalipun semula kedua aliran tersebut bersifat politik tapi kemudian untuk mendukung pandangan dan pendirian politik masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama (theologi).
Disini penulis tidak akan membahas kedua aliran ekstrem tersebut, tapi menfokuskan pembahasan pada aliran Khawarij, yang tercatat dalam sejarah memiliki pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem. Pertanyaan yang ingin penulis teliti jawabannya adalah latar belakang apa yang menyebabkan Khawarij tidak saja mempunyai pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem tapi juga berperilaku keras bahkan cenderung kejam. Mereka, kata Abu Zahra, suka menyabung nyawa dalam bahaya meskipun tidak ada pendorong untuk berbuat itu. Ironisnya mereka sangat kejam dan sama sekali tidak toleran dengan perbedaan pendapat sesama muslim, tapi sangat toleran dengan ahlul kitab.

I. Asal-Usul dan Perkembangan Khawarij
Pada tahun 37 H Mu’awiyah, Gubernur Syria memberontak terhadap Amir al-Mu’minin Ali ibn Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus karena dalam suasana berkabung dan emosi yang meletup-letup karena pembunuhan Utsman, Ali mengeluarkan keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara, yaitu pemecatan Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syria. Dengan pemecatan itu Mu’awiyah punya dua alasan untuk melawan Ali. Tidak jelas mana yang lebih dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian Ustman atau ingin mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur.
Sebelum peperangan meletus, Ali sudah mengirim Jarir ibn Abdillah al-Bajuli untuk berunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan karena tuntutan Mu’awiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh ‘Ali. Mu’awiyah menuntut dua hal: (1) ekstradisi dan penghukuman terhadap para pelaku pembunuhan Amir al Mu’minin Utsman ibn Afan; dan (2) pengunduran diri ‘Ali dari jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru.
Berbeda dengan Mu’awiyah yang secara pribadi punya alasan untuk menuntut balas atas kematian Utsman, penduduk Syria yang mendukungnya memerangi Ali tidaklah dapat dikatakan juga punya motivasi yang sama. Kalau memang mereka siap mati membela darah Utsman, hal itu tentu telah mereka lakukan sejak awal-awal begitu Utsman dibunuh. Tetapi setelah Ali mencapai kemenangan dalam perang Jamal, penduduk Syria melibatkan diri dalam menentang Ali karena mereka menghawatirkan campur tangan Ali dalam urusan dalam negeri mereka sediri di Syria. Demi untuk melemahkan kedudukan Ali penduduk Syria menjadikan pembelaan terhadap ‘Utsman sebagai lambang perjuangan menentang Ali. sebelum peperangan benar-benar terjadi Ali mengirim kembali juru runding yang terdiri dari Syabats ibn ‘Aibi al-Yarbu’i at-Tamimi, Ali ibn Hatim at-Tha’i, Yazid ibn Qais al-Arhabi, dan Ziyad ibn Khasafah at-Taimi at-Tamimi, untuk merunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan inipun juga berakhir dengan kegagalan.
Tulisan ini tidak akan menguraikan tentang perang Shiffin secara rinci, yang penting diungkap di sini dalam kaitannya dengan kelahiran aliran Khawarij adalah ide Amru ibn Ash dari pihak Mu’awiyah untuk memecah belah pasukan Ali dengan mengangkat lembaran mushhaf Al-Qur’an dengan ujung tombak sebagai isyarat mohon perdamaian dengan bertahkim kepada Kitab Suci Al-Qur’an. Tiga Sejarawan Muslim besar, At-Thabari, Ibnu al-Atsir dan Ibnu Katsir menyebutkan peristiwa itu dalam kitab mereka masing-masing. Menurut Amru, tawaran bertahkim kepada Al-Qur’an itu akan diterima oleh sebagian pengikut Ali dan akan ditolak oleh yang lain. Dengan demikian mereka pecah. Jika sekiranya mereka sepakat toh juga tidak ada ruginya bagi Mu’awiyah karena paling kurang sampai waktu tertentu peperangan dapat berhenti.
Sebagian pengikut Ali menyerukan untuk menerima tawaran Mu’awiyah, Ali sendiri menolaknya, karena menurut dia itu hanyalah bagian dari taktik perang Mu’awiyah. Ali megatakan; “Ibâdallah, teruslah berada dalam kebenaran dan keyakinan kalian. Teruslah memerangi musuh, karena Mu’awiyah, Amru, Ibn Abi Mu’ith, Habib, Ibn Abi Sarah dan Dhahhak bukanlah Asshâb ad-dîn dan bukan pula Ashhâb Al-Qur’an. Saya lebih mengenal mereka dibandingkan kalian. Saya telah bergaul dengan mereka sejak kecil sampai dewasa, mereka adalah anak-anak dan laki-laki dewasa yang jelek. Mereka minta bertahkim kapada kitab Allah, pada hal, demi Allah, mereka mengangkat mushhaf itu hanyalah untuk tipu muslihat belaka.” Mendengar seruan Ali mereka menjawab: “Mereka mengajak kita kembali kepada Kitabullah, kenapa kita tidak menerimanya?” Ali kembali menjawab: “Saya memerangi mereka supaya mereka tunduk kepada hukum kitab Allah; karena mereka telah menentang perintah Allah dan melupakan janji mereka dengan Allah, serta mengabaikan kitab suci itu.” Kemudian Mis’ar ibn Fadki at-Tamimi, Zaid ibn Hushain ath-Thai dan beberapa tokoh lain dari kelompok Al-Qura’– salah satu unsur koalisi pasukan Ali mendesak, bahkan mengancam akan memperlakukan ‘Ali seperti apa yang telah mereka lakukan terhadap Utsman.
Setelah Ali terpaksa mengikuti kehendak mereka, Al-Asy’asts ibn Qais menawarkan diri untuk menemui Mu’awiyah dan menanyakan apa yang diinginkannya dengan mengangkat mushhaf seperti itu. ‘Ali menyetujuinya. Mu’awiyah mengatakan: “Mari kita kembali kepada apa yang diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an. Kalian utuslah seseorang yang kalian sukai dan kami pun akan mengutus seseorang yang kami sukai. Biarkan mereka berdua berunding berdasarkan Kitabullah, kemudian kita ikuti apa yang mereka sepakati”. Dengan segera usulan Mu’awiyah itu disetujui sepenuhnya oleh pasukannya sendiri dan mereka sepakat mengutus Amru ibn ‘Ash sebagai juru runding. Sementara dari pihak Ali sekali lagi kelompok yang tadi memaksa Ali menerima perundingan memaksakan kehendak mereka kepada Ali. Mereka menunjuk Abu Musa al-Ays’ari, sementara Ali menginginkan ‘Abdullah ibn ‘Abbas atau Malik al-Asytar. Sekali lagi Ali terpaksa mengalah kepada keinginan mereka.
Abu Musa adalah tokoh yang sudah terlibat dalam fase-fase pertama penaklukkan Iraq baik sebagai jenderal pasukan maupun gubernur Kufah dan Bashrah. Dia juga pernah menentang kebijakan Utsman dan dipilih oleh kelompok sebagai gubernur Kufah ketika mengusir gubernur tunjukan Utsman, Sa’id ibn ‘Ash. Menurut Shaban, Abu Musa punya hubungan politik yang lama tidak tergoyahkan dengan kelompok. Sebaliknya Ali meragukan loyalitas Abu Musa karena Ali pernah memecat Abu Musa dari jabatannya karena kurang aktf dan loyal kepadanya. Perlu dicatat bahwa pada waktu itu Abu Musa tidak ada dalam pasukan, karena dia memencilkan diri ke tanah Hijaz. Waktu utusan memberi tahu bahwa dia telah dipilih sepakai Hakam, Abu Musa berkomentar: Innâ lillahi wa innâ illaihi râji’un. Tidak jelas bagaimana menafsirkan komentar Abu Musa seperti itu. Yang jelas baik Abu Musa maupun Amru adalah dua tokoh yang sangat mengenal daerah masing-masing. Abu Musa sangat kenal daerah Iraq dan ‘Amru sangat kenal dengan Syiria.
Perundingan di Daumah al-Jandal, Azruh itu berjalan cukup lama, sekitar enam bulan, mulai Shafar sampai Ramadhan tahun 37 H. tidak banyak yang dapat diketahui tentang apa saja yang dibicarakan dalam perundingan sehingga memerlukan waktu yang lama. Kalaupun ada masalah yang alot dibicarakan juga tidak jelas masalah apa itu. Di antara yang terungkap adalah keberhasilan ‘Amru meyakinkan Abu Musa bahwa Mu’awiyah sebagai wali Utsman paling berhak dibanding siapapun untuk menuntut balas atas kematian Utsman. Waktu Amru membicarakan keterlibatan Ali dalam pembunuhan Utsman, Abu Musa tidak mau melayani. Dia mengajak Amru membicarakan hal yang bisa menyatukan umat Muhammad. Kata Abu Musa : “Anda tahu, penduduk Iraq sama sekali tidak menyukai Mu’awiyah, dan penduduk Syiria tidak menyukai ‘Ali. Bukankah lebih baik kita copot keduanya dan kita angkat Abdullah ibn ‘Umar?”. Amru segera menyetujui pendapat Abu Musa dan mengusulkan beberapa nama, tapi Abu Musa hanya menyetujui Ibnu Umar. Karena tidak tercapai kesepakatan siapa yang akan diangkat menjadi Khaifah, akhirnya disepakati menyerahkannya kepada permusyawaratan kaum Muslim.
Beberapa sumber kemudian menyebutkan kedua juru runding itu mengumumkan hasil kesepakatan mereka. Yang duluan bicara adalah Abu Musa, baru kemudian ‘Amru. Tapi kemudian Amru menghianati Abu Musa dengan secara sepihak mengukuhkan Mu’awiyah menjadi Khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu seperti yang disepakati. Harun Nasution yang terkenal berpikir kritis juga meyakini kelicikan bahkan kecurangan Amru tersebut. Tulisnya : “…Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amru ibn Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah”.
Dalam hal ini Hasan Ibrahim Hasan yang meragukan kebenaran kisah tersebut. Menurut dia, mengutip Al-Mas’udi, kedua juru runding tersebut tidak pernah berpidato menyampaikan hasil perundingan mereka. Mereka memang sepakat mencopot ‘Ali dan Mu’awiyah dan menyerahkan kepada permusyawaratan kaum Muslimin untuk memilih Khalifah baru. Bahkan Hasan menyetakan para sejarawan telah menzalimi Abu Musa dengan menuduh kalah cerdik dari ‘Amru. Kemungkinan besar pelecehan terhadap kemampuan diplomasi Abu Musa itu, menurut Hasan, karena pendapat Abu Musa dalam perundingan itu tidak sejalan dengan pendapat ‘Ali dan Bani Hasyim walaupun sejalan dengan pendapat sebagian besar kaum Muslimin waktu itu.
Kenapa kemudian kedudukan Mu’awiyah semakin kokoh di Syiria, bukan karena Amru telah membai’ahnya, tapi karena memang Ali tidak lagi punya kekuatan yang cukup untuk menggempur Mu’awiyah karena kemudian pasukan koalisinya menjadi lemah sesudah perang Shiffin, apalagi nanti setelah kelompok besar memisahkan diri yang kemudian dikenal dangan kelompok Khawarij. Sementara pendukung Mu’awiyah semakin solid, apalagi Mu’awiyah sudah mejadi Gubernur Syria semenjak zaman ‘Umar.
Pada kelompok Qurrâ’. Setelah perundingan selesai mereka berbalik menentang Tahkîm, padahal tadinya mereka juga mendesak ‘Ali menerima Tahkîm. Sekarang mereka kemukakan alasan-alasan yang bersifat teologis, untuk mendukung pandangan dan sikap polotik mereka. Menurut mereka, Tahkîm salah karena hukum Allah tentang pertikaian mereka sudah jelas. Mereka yakin kubu Ali lah (dalam konflik dengan kubu Mu’awiyah) yang berada di pihak yang benar. Kubu Ali yang beriman. Tahkîm berarti meragukan kebenaran masing-masing pihak. Hal itu bertentangan dengan Al-Qur’an. Mereka teriakkan Lâ hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Mereka meminta Ali mengaku salah, bahkan megakui bahwa dia telah kafir kerena menerima Tahkîm. Mereka desak Ali supaya membatalkan hasil kesepakatan Tahkîm. Kalau tuntutan mereka dipenuhi mereka akan kembali berperang di pihak Ali. Tentu saja Ali menolak. Kesepakatan tidak boleh dilanggar. Agama memerintahkan kita untuk menepati janji. Kalau Ali mungkir janji koalisinya akan semakin pecah. Lagipula bagaimana mungkin dia mau mengakui dirinya telah kafir, padahal dia tidak pernah berbuat musyrik semenjak beriman. Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi Ali, akhirnya mereka meninggalkan kamp Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura, yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal dengan nama golongan Al-Harûriyah. Di Harura inilah mereka membentuk organisasi sediri dan memilih Abdullah ibn Wahab ar-Rasibi dari Banu Azd sebagai pemimpin mereka. Karena mereka keluar dari kubu ‘Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan al-Khawârij, bentuk jama’ dari Khâriji (yang keluar).
Menurut Syahrastani, yang disebut Khârij, adalah siapa saja yang keluar dari (barisan) imam yang hak yang telah disepakati oleh jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat di bawah pimpinan al-Aimmah ar-Râsyiddîn atau pada masa tabi’in atau pada masa imam mana pun di setiap masa. Secara etimologis Syahrastani benar, tapi secara terminologi apalagi secara historis nama Khawarij hanya diberikan kepada kelompok yang keluar dari kubu Ali seperti yang disebut di atas, dan disebut juga al-Harûriyah karena mereka pergi memisahkan diri ke Harura. Tapi dibanding dengan nama-nama lain yang dipanggilkan kepada mereka maka nama Khawarij lah yang paling umum bisa dipakaikan untuk semua kelompok pecahan Khawarij, sebab dalam perkembangan sekanjutnya kita akan lihat kelompok ini paling mudah memisahkan diri dari kelompok awalnya karena perbedaan pendapat yang kadang-kadang tidak prinsip. Khurûj sudah merupakan dustûr mereka. Dalam bahasa Inggris Khawarij ditulis Kharijites dan dialihbahasakan menjadi Seceders, Rebels.
Semakin lama kelompok yang meisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan ‘Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. Semula Ali tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka. Di antara yang menjadi korban adalah ‘Abdullah ibn Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi.
Abu Zahra mengutip kisah kematian putera Khabbab dari buku Al-Kâmil karya Al-Mubarrad sebagai berikut : “Sekelompok Khawarij berjumpa pada suatu saat dengan seorang Muslim dan seorang Nasrani. Mereka membunuh si Muslim tetapi berpesan kepada si Nasrani agar melakukan kebaikan sambil berseru: “Jagalah janji Nabi kalian!” Kemudian ketika itu ‘Abdullah ibn Khabab sedang membawa mushaf di pundaknya bersama isterinya yang sdang hamil, berjalan menjumpai mereka. Lentas mereka menegur ‘Adullah, dengan mengatakan, “Sesungguhnya apa yang kamu bawa di pundakmu itu menyuruh kami untuk membunuhmu… Bagaimana menurut pendapatmu mengenai Abu Bakar dan ‘Umar?” tanya mereka. ‘Abdullah menjawab, “Aku memuji kedua beliau itu.” Mereka bertanya pula, “Bagaimana pendapatmu mengenai Ali sebelum Tahkîm dan mengenai Utsman dalam kekhalifahannya selama enam tahun?” ‘Abdullah menjawab, “Aku juga memuji kedua beliau itu” Lalu mereka masih bertanya, “Bagaimana pendapatmu mengenai Tahkîm?” Abdullah menjawab, “Sesungguhnya Ali itu lebih tahu tentang Kitab Allah dari pada kalian semua, lebih taqwa dari kalian dalam beragama, dan beliau lebih mengena pandangannya daripada kalian semua.” Maka mereka mengatakan, “Kamu ini tidak mengikuti hidayah, tapi kamu hanya mengikuti mereka atas nama mereka.” Akhirnya mereka menyeret Abdullah ketepi sungai dan menyembelihnya di sana. Setelah itu mereka tawar menawar dengan orang laki-laki Nasrani tentangn pohon kurma. Orang Nasrani itu megatakan, “Ambil saja, pohon kurma itu milik kalian!” Mereka menjawab, “Demi Tuhan, kami tidak mau membawa kurma ini kecuali dengan harga.” Orang Nasrani itu lalu berkata dengan keheranan, “Ini benar-benar aneh, kalian berani membunuh orang seperti ‘Abdullah ibn Khabab, tetapi kalian tidak mau menerima kurma kami ini kecuali dengan harga”.
Ali kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. ‘Ali menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syria, atau pulang ke kampung masig-masing. Sebagian memenuhi anjuran ‘Ali; ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka menyerang pasukan Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan itu lah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di situ, telah mengakibatkan Ali tidak pernah bisa berangkat ke Syria. Antara tahun 39 dan 40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras Ali untuk menghadapinya. Mu’awiyah pun, yang setelah Ali wafat menjabat kedudukan Amirul Mu’minin dan terkenal hilm (lemah lembut dan ‘arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij, dalam perkembangan selanjutnya Khawarij terpecah menjadi beberapa kelompok, karena, seperti sudah diungkap di atas, sudah menjadi dustûr mereka kalau berbeda pendapat segera memisahkan diri membentuk kelompok sendiri. Para sejarawan berbeda pendapat tentang jumlah kelompok-kelompok pecahan Khawarij, tapi mereka sepakat jumlahnya tidak kurang dari dua puluh kelompok, sebagian ushûl dan yang lain furû’. Yang termasuk ushûl menurut Abu Hasan Al-Asy’ary adalah : Al-Azariqah, al-Ibadiyah, an-Najdiyah dan ash-Shufriyah. Sementara menurut Syahrastani yang masuk ushûl adalah al-Muhakkimah al-Ula, al-Azariqah, an-Najdat, al-Baihasiyah, al-‘Ajaridah, ats-Tsa’Alibah, al-Ibadhiyah dan ash-Shufriyah. Yang termasuk furû’ banyak sekali, tidak relevan kita sebutkan semuanya dalam makalah ini, di antaranya adalah al-‘Athawiyah, al-Fadikiyah dan al-‘Ajaridah.


II. Latar Belakang Ekstremitas Khawarij
Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai Ali ibn Abi Thalib salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat Ali menjadi kafir. Mereka memaksa Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu ‘Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan keluar dari pasukan Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-kekejaman yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah Ali hanya kafir atau musyrik.
Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nâsi man yu’jibuka qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ fi qalbihi wa huwa aladdu al-khshâm) diturunkan Allah mengenai ‘Ali sedangkan tentang ‘Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh ‘Ali Allah menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri nafsahu ibtighâa mardhâtillah). Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Qur’an untuk menguatkan pendapat-pendapat mereka.
Yang menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka memiliki pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melakukan analisis terhadap pengertian istilah Qurrâ’ atau Ahl al– Qurrâ’, sebutan mereka sebelum menjadi Khawarij. Apakakah istilah itu berarti para penghafal Al-Qur’an atau orang orang kampung. Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka persoalannya adalah persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan picik), tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial politik. inilah kata kunci yang dapat membantu kita memahami latar belakang ekstremitas Khawarij.

Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka, maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurrâ’ bukan sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menulis paper tenang Khawarij waktu studi di McGill University, Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurrâ’ lebih tepat diartikan sebagai ‘para penetap’ walaupun Ahl al-Qurrâ’ bisa juga berarti para penghafal Al-Qur’an.
Tentang pengertian istilah al-Qurrâ’ ditulis oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11-78 H/632-698 M) yang berasal dari disertasi doktor yang bersangkutan di Exterter University, England dengan judul bahasa Inggris The Origins of The Khawarij. Menurut Yahaya para sejarawan seperti Sayf, at-Thabary dan Ibn ‘Atsam cenderung menafsirkan al-Qurrâ’ sebagai para penghafal Al-Qur’an. Kekeliruan itu mungkin muncul terpegaruh dengan ucapan Sa’idi ibn ’Ash dalam sebuah khutbah di Masjid besar di Kufah yang megatakan; “Ahabbukum ilayya akramukum li kitâbillah.
Istilah-istilah lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang sama yang melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrâf, wujûh, sufahâ, rijâl min qurâ’ ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jama’ah ahli al kufah dan lain-lain yang tidak satu pun yang menunjukkan makna penghafal-penghafal Al-Qur’an. Tetapi yang jelas ialah bahwa al-Qurra’ itu ialah golongan manusia di Kufah, atau sebagian dari golongan asyrâf, orang-orang kenamaan dan pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau menguasai kampung-kampung di Irak dan disifatkan sebagai orang-orang yang bodoh. Sebagian dari mereka ini telah disingkirkan dari jabatan-jabatan penting dalam masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman.
Sejalan dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau pun penyimpangan dalam bentuk kecil. Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
Khawarij tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah ‘Utsman ibn Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap ‘Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu, tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi dikelola oleh kelompok Qurrâ’, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para veteran perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu menganggap diri mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini. Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain Utsman menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad ini.
Kelompok Qurrâ’ dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran mereka secara berkesinambungan di Iraq kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan Utsman itu kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka. Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada ‘Utsman kelompok ini menghalang-halangi kedatangan Sa’id ibn Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh Utsman–memasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asy’ary sebagai Gubernur dan memaksa Utsman mengakui tindakan kekerasan ini.

Penutup
Dari uraian di atas bahwa pemikiran politik dan teologi serta sikap ekstrem Khawarij lahir terutama disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural mereka sebagai orang-orang Arab Badawi yang punya watak keras, kasar dan berani sehingga mereka tidak gentar mati walaupun untuk hal-hal yang tidak perlu. Sebutan Qurrâ’ bagi mereka sebelum dikenal dengan nama Khawarij tidaklah menunjukkan arti para penghafal Al-Quran, tapi menunjukkan arti mereka sebagai orang-orang desa.
Dari sejarah Khawarij itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan sosial politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat terbatas bahkan sangat sempit. Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan ekstremitas tidak hanya pemikiran tapi juga sikap dan tindakan.



KEPUSTAKAAN

Zahrah Abu, M, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, terjemah Shobahussurur, Gontor : PSIA, cet.I, 1991.

Hasan, Ibrahim Hasan, Târîkh al-Isâlm as-Siyâsi wa ad-diny wa ats-Tsaqafi wa al- Ijtimâ’iy, Cairo: Maktababah an-Nahdhah al-Misriyah, cet. IV, tahun 1957.

Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: Jakarta, UI Press, cet.V, 1986.

Shaban, M.A., Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600-750, terjemahan Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Pers, 1993.

Shiddiqi, Nouruzzaman, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta, PLP2M, cet, I, 1985.

Yahya, Mahayudi Haji, Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11- 78 H/632 – 698 M), Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, cet. II, 1986.

Sabtu, 16 April 2011

Kajian Politik

"Plato 427 – 347 SM. Tentang Negara Yang Ideal"

A. Pendahuluan
salah satu dari sekian banyak persoalan kontroversial mengenai filsuf plato adalah bagaimana plato memahami istilah epistemology dalam hubungan dengan teorinya tentang forma atau bagaimana teorinya tentang pengetahuan yang dapat di hubungkan dengan teori nya tentang being atau adanya (ontology). Kedua pertanyaan ini menuntut jawaban. Sebenarnya, sudah terdapat sekian banyak studi yang mencoba menjawab pertanyaan ini. Karena itu, persoalan kita sekarang ialah menetukan argument yang lebih cocok dan tepat. Akan tetapi, kami akan mencoba menguraikan pemikiran-pemikiran plato tentang bentuk masyarakat yang menurutnya ideal.
Sejarah memperlihatkan bahwa Plato hidup dalam suatu periode gelap di kehidupan politik Athena. Ia dilahirkan dari kalangan keluarga Athena sekitar tahun 427 SM. Dimasa remaja nya ia berkenalan dengan filosof yang terkenal yaitu Socrates yang menjadi guru sekaligus sahabatnya. Tahun 399 SM, tatkala Socrates berumur 70 tahun, ia dibawa ke pengadilan dengan tuduhan merusak akhlak angkatan muda Athena. Socrates dikutuk dan dihukum mati tak lama sesudah Socrates mati Plato pergi meninggalkan Athena, dan selama 10 – 12 tahun ia mengembara. Sekitar tahun 387 SM ia kembali ke Athena dan mendirikan perguruan disana, sebuah akademi yang berjalan lebih dari 900 tahun. Plato menghabiskan sisa umurnya yang 40 tahun di Athena, mengajar dan menulis ihwal filsafat. Muridnya yang masyhur adalah Aristoteles, yang menjadi murid akademi di umur 17 tahun. Sedangkan Plato pada waktu itu sudah menginjak umur 60 tahun dan ia meninggal pada usia 70 tahun. Plato menulis kurang lebih dari 36 buku, kebanyakan menyangkut masalah politik dan etika selain metafisika dan theology.
A. Pembahasan
Dalam buku republik yang menjadi tujuan hidup Plato tergambar pendapatnya tentang pembinaan negara, masyarakat dan pendidikan. Pandangan Plato tentang negara luasnya masih terpaut pada masanya. Ia lebih memandang ke belakang dari ke muka. Negara Grik, di masa itu ialah kota. Jumlah penduduknya tidak lebih daripada dua atau tiga ribu jiwa. Penduduk kota ialah orang-orang yang merdeka, yang mempunyai milik tanah terletak di luar kota yang di kerjakan oleh budak-budaknya. Di antara mereka terdapat saudagar, tukang, pandai seni dan pejabat negara. Menurut kebiasaan di waktu pekerjaan yang kasar di kerjakan oleh budak belian. Mereka itu tidak di anggap sebagai penduduk sebab tidak merdeka.
Peraturan yang menjadi dasar untuk mengurus kepentingan umum kata Plato tidak boleh di putus oleh kemauan atau pendapat orang-seorang atau oleh rakyat seluruhnya, melainkan di tentukan oleh suatu ajaran yang berdasarkan pengetahuan dengan pengertian. Tujuan pemerintah yang benar ialah mendidik warga-negara mempunyai budi. Manusia memperoleh budi yang benar hanya dari pengetahuan. Dan karena itu ilmu harus berkuasa di dalam negara.
Negara yang ideal harus berdasar pada keadilan. Keadilan dalam negara hanya tercapai, apabila tiap-tiap orang mengerjakan pekerjaan yang teruntuk bagi dia. Pembagian pekerjaan adalah dasar bagi Plato untuk mencapai perbaikan hidup. Plato mengupas masalah keadilan itu dengan panjang lebar berupa percakapan dialog antara Socrates.
Sejarah memperlihatkan bahwa Plato hidup dalam suatu periode gelap di kehidupan politik Athena. Ia dilahirkan dari kalangan keluarga Athena sekitar tahun 427 SM. Dimasa remaja nya ia berkenalan dengan filosof yang terkenal yaitu Socrates yang menjadi guru sekaligus sahabatnya. Tahun 399 SM, tatkala Socrates berumur 70 tahun, ia dibawa ke pengadilan dengan tuduhan merusak akhlak angkatan muda Athena. Socrates dikutuk dan dihukum mati tak lama sesudah Socrates mati Plato pergi meninggalkan Athena, dan selama 10 – 12 tahun ia mengembara. Sekitar tahun 387 SM ia kembali ke Athena dan mendirikan perguruan disana, sebuah akademi yang berjalan lebih dari 900 tahun. Plato menghabiskan sisa umurnya yang 40 tahun di Athena, mengajar dan menulis ihwal filsafat. Muridnya yang masyhur adalah Aristoteles, yang menjadi murid akademi di umur 17 tahun. Sedangkan Plato pada waktu itu sudah menginjak umur 60 tahun dan ia meninggal pada usia 70 tahun. Plato menulis kurang lebih dari 36 buku, kebanyakan menyangkut masalah politik dan etika selain metafisika dan theology.
Pemikiran Plato tentang politik yaitu ia menginginkan negara yang ideal dalam buku republik yang menjadi tujuan hidup Plato tergambar pendapatnya tentang pembinaan negara, masyarakat dan pendidikan. Plato hidup dalam masa Athena menempuh jalan turun setelah mencapai kedudukan yang gilang gemilang dalam segala lapangan. Pertentangan antara kaya dan miskin sangat menyolok mata. Karena itu pertentangan politik juga hebat. Kekuasaan Aristokrasi, Oligarki, dan demokrasi datang berganti-ganti, dengan tidak dapat menundukkan pemerintahan yang tetap. Menurut Plato nasib Athena hanya dapat tertolong dengan mengubah sama sekali dasar hidup rakyat dan sistem pemerintahan. Itulah alasan baginya untuk menciptakan bentuk suatu negara yang ideal.
Menurut Plato bentuk terbaik dari suatu pemerintahan adalah pemerintahan yang dipegang oleh kaum Aristokrat. Yang dimaksud Aristokrat disini bukannya Aristokrat yang diukur dari takaran kualitas, tapi pemerintahan yang digerakkan oleh putra terbaik dan terbijak dalam negeri itu. Orang-orang ini mesti dipilih bukan lewat pungutan suara penduduk melainkan lewat proses keputusan bersama. Orang-orang yang sudah jadi anggota penguasa disebut juga “GUARDIAN” harus menambah orang-orang yang sederajat semata-mata atas dasar pertimbangan kualitas. Plato percaya bahwa bagi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan mestinya disediakan kesempatan memperlihatkan kebolehannya selaku anggota Guardian.
Plato merupakan filosof pertama yang mengusulkan persamaan kesempatan tanpa memandang jenis kelamin dan dalam jangka waktu lama pun nyatanya Cuma dia yang mempunyai ide itu. Untuk membuktikannya Plato menganjurkan agar pertumbuhan dan pendidikan anak-anak dikelola oleh negara. Pertama-tama anak-anak memperoleh latihan fisik yang menyeluruh, baik segi musik, matematika dan lain-lain disiplin akademi tidak boleh diabaikan. Mereka yang kurang maju harus dianjurkan untuk ikut serta terlibat dalam kegiatan ekonomi masyarakat, sedangkan orang-orang yang maju harus terus melanjutkan dan menerima gemblengan latihan. Penambahan pendidikan ini harus termasuk bukan Cuma pada mata pelajaran akademi biasa, tetapi juga mendalami filosofi yang oleh Plato dimaksud menelaah doktrin bentuk ideal faham metafisikanya.
Pada usia 35 tahun, orang-orang ini yang memang sudah betul-betul meyakinkan mampu menunjukkan penguasaannya di bidang teori-teori dasar, harus menjalani lagi tambahan latihan selama 15 tahun, yang mesti termasuk bekerja mencari pengalaman praktek. Hanya orang-orang yang mampu memperlihatkan bahwa mereka bisa merealisir dalam bentuk kerja nyata dari buku-buku yang di pelajarinya dapat di golongkan ke dalam “ kelas guardian “. Lebih dari itu, hanya orang-orang yang dengan jelas bisa menunjukkan bahwa minat utamanya adalah mengabdi kepada kepentingan masyarakatlah yang bisa di terima ke dalam “kelas guardian“.
Keanggotaan guardian tidak dengan sendirinya menarik perhatian masyarakat. Kelas guardian tidaklah banyak mendapatkan uang. Mereka hanya di bolehkan memiliki harta pribadi dalam jumlah terbatas dan tak boleh punya tanah buat rumah pribadinya. Mereka menerima gaji tertentu dan tetap (itu pun dalam jumlah yang tak seberapa), dan tidak bolehkan punya emas atau perak. Anggota guardian tidak di perkenankan punya famili yang terpisah tempatnya, mereka haru makan bareng, punya pasangan bersama, imbalan buat pentolan-pentolan filosofi ini bukannya kekayaan melainkan kepuasan dalam hal melayani kepentingan umum. Begitulah ringkasanya sebuah republik yang ideal menurut plato.
Republik terbaca luas selama berabad-abad, tetapi harus di catat, sistem politik yang di anjurkan di dalamnya belum pernah secara nyata di praktekkan sebagai model pemerintah manapun. Selama masa antara zaman plato hingga kini, umumnya negara-negara Eropa menganut sistem kerajaan. Di abad-abad belakangan ini beberapa negara menganut bentuk pemerintah demokratis. Ada juga yang menganut sistem pemerintahan militer, atau di bawah tiran demagog seperti misalnya hitler dan Mussolini. Tak satupun pemerintahan-pemerintahan ini punya kemiripan dengan republik ideal plato. Teori plato tak perenah jadi anutan partai poltik manapun, atau jadi basis gerakan politik seperti halnya terjadi pada ajaran-ajaran karl marx, apakah dengan demikian dapat di simpulkan bahwa hasil karya plato, kendati di perbincangkan dengan penuh penghargaan. Memang benar, tak satu pun pemerintahan sipil di Eropa di sadarkan atas model plato secara langsung. Namun, menurut plato terdapat persamaan yang mengagumkan antara posisi Gereja katolik di Eropa abad pertengahan terdiri dari kaum elite yang mempertahankan diri sendiri agar tidak layu dan tersisihkan, yang anggota-anggotanya mendapat latihan-latihan filosofis resmi. Pada prinsipnya, semua pria, tak peduli dari mana asal-usulnya dapat dipilih masuk kependetaan (meski tidak untuk wanita) juga pada prinsipnya, para pendeta itu tak punya famli dan memang di arahkan semata-mata agar mereka memusatkan perhatian pada kelompok mereka sendiri, bukannya nafsu keagungan disanjung-sanjung. Peranan partai komunis di uni soviet juga ada yang membandingkan dengan “ kelas guardian “ itu mempunyai republik ideal. Sini pun kita temukan kelompok elite yang kesemuanya terlatih dengan filosofi resmi.
Gagasan plato juga mempengaruhi struktur pemerintahan Amerika serikat. Banyak anggota konvensi konstitusi Amerika mengenal dan tak asing dengan gagasan-gagasan politik plato. Maksudnya, sudah pasti tentu agar konstitusi Amerika serikat membuka kemungkinan menggali dan mempengaruhi kehendak rakyat. Dan juga diinginkan sebagai sarana memilih orang-orang yang paling bijak dan paling baik untuk memerintah negara. Kesulitan menentukan arti penting pengaruh plato sepanjang masa. Harus luas sehingga susah di paparkan dan bersifat tidak langsung. Sebagai tambahan teori politiknya, diskusinya di bidang etika dan metafisika telah mempengaruhi banyak filosofi yang datang belakangan. Apabila plato di tempatkan pada urutan sedikit lebih rendah ketimbang Aristoteles dalam daftar sekarang ini, hal ini terutama lantaran Aristoteles bukan saja seorang filosofi melainkan pula seorang ilmuwan yang penting. Sebaliknya, penempatan plato lebih tinggi urutannya ketimbang pemikir-pemikir seperti john locke, Thomas Jefferson dan Voltaire, sebabnya lantaran tulisan-tulisan ihwal poltiknya mempengaruhi dunia Cuma dalam jangka masa dua atau tiga abad, sedangkan plato juga punya daya jangkau lebih dari 23 abad.
Plato insyaf benar, bahwa konsepsinya itu hanya merupakan suatu “ gambaran asal “, sebagaimana ide lainnya. Seperti ternyata dalam pengalaman idea itu tidak dapat di capai seluruhnya, hanya dapat di dekati. Dalam buku yang di karang kemudian, hukum, berbagai segi yang pokok yang di kemukakan di dalam republik diperlemahnya. Milik bersama, katanya atas segala harta dan kerjasama ekonomi yang sebulat-bulatnya hanya mungkin bagi dewa-dewa dan anak-anak dewa, milik perseorangan di perbolehkan. Tetapi kemiskinan dan pertumpukan harta di satu tangan harus di larang.
Banyak pengarang yang menamakan ciptaan plato itu sistem sosialisme. Tetapi jika di tinjau benar-benar, negara idealnya itu hanya merupakan negara sosial yang tujuannya menghilangkan kemiskinan dan menegakkan keadilan. Pelaksanaan komunisme hanya dalam kalangan penjaga jumlahnya kira-kira 5% dari seluruh penduduk masyarakat yang bertingkat bukanlah sosialisme.
B. Kesimpulan
Dalam pembahasan di atas kami dapat memberikan kesimpulan bahwasannya plato adalah sebagai bapak moyangnya pemikir barat. Ia berguru kepada Socrates yang sekaligus menjadi sahabatnya. Menurut Plato bentuk terbaik dari suatu pemerintahan adalah pemerintahan yang dipegang oleh kaum Aristokrat. Yang dimaksud Aristokrat disini bukannya Aristokrat yang diukur dari takaran kualitas, tapi pemerintahan yang digerakkan oleh putra terbaik dan terbijak dalam negeri itu. Orang-orang ini mesti dipilih bukan lewat pungutan suara penduduk melainkan lewat proses keputusan bersama.
Pemikiran Plato tentang politik yaitu ia menginginkan negara yang ideal dalam buku republik yang menjadi tujuan hidup Plato tergambar pendapatnya tentang pembinaan negara, masyarakat dan pendidikan. Plato hidup dalam masa Athena menempuh jalan turun setelah mencapai kedudukan yang gilang gemilang dalam segala lapangan. Pertentangan antara kaya dan miskin sangat menyolok mata. Karena itu pertentangan politik juga hebat. Kekuasaan Aristokrasi, Oligarki, dan demokrasi datang berganti-ganti, dengan tidak dapat menundukkan pemerintahan yang tetap. Menurut Plato nasib Athena hanya dapat tertolong dengan mengubah sama sekali dasar hidup rakyat dan sistem pemerintahan. Itulah alasan baginya untuk menciptakan bentuk suatu negara yang ideal.